Ragam Seni yang Senantiasa Diciptakan Kembali
Di
mancanegara dunia teater Jerman tidak jarang dicap
sebagai ribut dan dilanda narsisme. Akan tetapi di
belakangnya terdapat sistem yang sering dikagumi. Kota madya pun memiliki
gedung pertunjukan untuk ketiga jenis seni panggung (sandiwara, opera, balet)
yang menarik dari segi artistik. Sebagian besar di antaranya tergolong tipe
teater repertoar, berarti daftar pertunjukannya mencakup beberapa karya pentas
yang biasanya dibawakan oleh ansambel tetap. Secara keseluruhan terbentuk
semacam panorama teater, sebuah jaringan rapat yang terdiri dari teater milik
negara bagian dan kota, teater keliling dan teater swasta. Sumbangan masyarakat
Jerman bagi teater cukup besar: bentuknya gagasan, perhatian dan subsidi.
Banyak orang menganggap panggung-panggung sebagai hal mewah, mengingat
pendapatan teater dari karcis masuk pada umumnya hanya mencapai sepuluh atau
lima belas persen dari pengeluarannya. Akan tetapi sistem subsidi telah
melewati titik kulminasi dalam perkembangannya dan sedang berada dalam tahap
yang sulit, karena seni suka diukur dengan prasyarat materinya.
Peter Stein,
tokoh unik dalam teater Jerman, adalah “sutradara kelas dunia” yang berbeda
dari pengarah pementasan lain dengan menciptakan karya yang dapat dikenali
melalui kontinuitas pengulangan motif, tema dan pengarang. Gaya penyutradaraannya
mengutamakan teks. Antara angkatan seniman yang berteater sekarang dan tokoh
seperti Peter Stein, Claus Peymann, direktur artistik Berliner Ensemble, atau
Peter Zadek terbentang jarak yang jauh. Perbendaharaan kata yang
dipakai generasi mereka itu tidak cocok lagi untuk teater kontemporer.
Pengertian seperti mencerahkan, mengajari, menelanjangi atau bercampur tangan
berkesan usang. Penonton pun tak dapat dikagetkan lagi, provokasi di atas
panggung biasanya berlalu tanpa sahutan dan sering tidak lebih daripada serangan
terhadap klise usang yang dilancarkan dengan
rutinitas. Teater angkatan muda tidak lagi mau menjadi “avant-garde”,
melainkan mencari bentuk ekspresi tersendiri. Berkenaan dengan tren ini jumlah
pertunjukan perdana karya dramawan kontemporer meningkat secara tajam sesudah
pergantian abad. Terlepas dari mutunya yang sangat bervariasi, pementasan
tersebut menunjukkan seluruh kebinekaan bentuk seni pertunjukan; drama
tradisional bercampur dengan pantomim, tari, proyeksi cuplikan film dan musik
menjadi paduan yang selalu baru. Tidak mengherankan kalau pementasan yang
gayanya sering terbuka dan bersifat improvisasi itu umumnya disebut “instalasi
dramatis” atau “adaptasi untuk panggung”.
Frank
Castorf, kepala teater Freie Volksbühne Berlin, yang membiarkan teks sandiwara
diutak-atik dan disusun kembali sesukanya menjadi salah seorang yang diteladani
oleh generasi muda sutradara itu. Nama Christoph Marthaler dan Christoph
Schlingensief juga menandai pandangan baru mengenai seni panggung dan pencarian
kemungkinan ekspresi baru yang sesuai dengan globalisasi kapitalisme dan
kehidupan yang didominasi oleh media elektronis. Michael Thalheimer dianggap
sebagai ahli untuk tema yang sulit yang mengupas persoalan dengan melihat
intinya. Armin Petras, Martin Kusej atau René Pollesch telah menciptakan bentuk
pementasan yang mengutamakan gaya: cara bercerita tradisional dengan berpegang
pada teks terasa agak asing bagi mereka. Terhadap sikap itu selalu diutarakan
kritik, kritik yang seolah-olah membuktikan bahwa dunia teater penuh hidup,
biarpun tidak sejiwa.
Teater sanggup
bereksistensi terus meskipun ada penghancur karya drama seperti
Frank Castorf, dan pada waktu yang sama dapat disorakinya interpretasi
kesutradaraan teliti yang mengutamakan kesanggupan para aktor. Kebinekaan yang
diperagakan setiap tahun oleh Pertemuan Teater Berlin dapat
ditafsirkan di satu pihak sebagai ungkapan rasa bingung yang bertambah kuat,
namun di lain pihak sebagai tanggapan dengan beraneka suara atas persoalan
yang muncul dalam realitas masyarakat yang serba kompleks. Publik yang
berperhatian penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi
kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah
kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu
diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.
Sumber :
http://studijerman.com/german-news/kultur-dan-budaya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar